PELAJARAN XVI
GHIBAH,
NAMIMAH, HIQD, HASAD DAN
TAKABUR
Wahai anaku,
sebagian dari akhlak tercela dan hina ialah ghibah (engkau mambicarakan kejelekan
temanmu di saat dia tidak ada). Apabila dia mengetahuinya tentu akan merasa
tidak senang .
Wahai anakku, pada setiap orang pasti mempunyai
kekurangan, karena itu
jauhilah olehmu membicarakan
kejelekan orang lain. Wahai anakku, jauhilah ghibah,
jauhi perbuatan-perbuatan yang
sejenis. Perbuatan yang serupa dengan ghibah adalah namimah (mengadu
domba), janganlah engkau berbuat kerusakan dikalangan umat manusia janganlah engkau
mengatakan kepada seseorang si Anu telah mengumpatmu, si Anu menuduhmu berbuat
anu dan lain sebagainya.
Wahai anakku, ghibah dan namimah adalah sebagian
dari akhlaq yang rendah dan tercela, bukan akhlaq kaum pelajar, juga bukan
akhlaq pelajar yang mempelajari Dienul Islam. Karena itu janganlah engkau
mengotori diri dengan akhlaq yang rendah dan hina itu. Dalam Al Quran ditegaskan:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain
dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu marasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujaraat: 12)
Wahai anakku,
janganlah engkau hasad (dengki) kepada temanmu yang mendapat keni’matan
dari Allah, karena dirimu tidak mendapatkan-Nya.
Mungkin pada suatu saat Allah akan
memberimu ni’mat seperti apa yang diperoleh temanmu.
Wahai anakku,
hasad itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan menimbulkan permusuhan dan dendam.
Sesungguhnya apabila engkau dengki kepada salah seorang teman, maka temanmu
akan marah dan membencimu, setiap orang yang mengetahuinyapun akan memberi penilaian
bahwa dirimu berakhlaq rendah dan tercela.
Wahai anakku, karena
itu tinggalkanlah sifat ghibah, naminah dan hasad. Tinggalkan pula sifat hiqd
(benci) kepada teman dan kepada sekalian umat manusia janganlah engkau
menyimpan perasaan jelek kepada seseorang.
Apabila ada seseorang berbuat salah kepadamu, kemudian memohon maaf, maka
maafkanlah dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, buang jauh-jauh perasaan
untuk membalas dendam.
Wahai anakku,
jadilah engkau seorang yang berhati suci, bersih dari sifat hasad, hiqd dan
lainya, karena orang akan merasa bahagia dan cinta kepadamu.
Wahai anakku, hiqd
dan hasad itu adalah akhlaq yang buruk, yang tidak akan memberi mudlarat
kecelakaan kecuali kepada orang yang memiliki sifat itu. Hasad tidak akan dapat
memindahkan keni’matan yang dimiliki seseorang kepada dirimu. Bila dirimu
menjadi orang yang pendengki pembenci,
maka hatimu akan selalu panas, sakit hati sepanjang siang dan malam. Dirimu tidak
akan tenang selama sifat hasad dan hiqd masih tertanam dalam hatimu.
Wahai anakku,
apabila Allah memberi ni’mat karunia kepadamu, bersyukurlah, jangan engkau takabbur
(sombong) terhadap sesama makhluk. Sesungguhnya Allah Dzat yang memberimu
ni’mat dan Dia kuasa untuk mencabut kembali. Sesungguhnya Allah yang mencegah
tidak memberikan ni’mat kepada selainmu itu kuasa untuk memberinya berlipat
ganda dari apa yang telah diberikan kepadamu. Karena itu janmganlah engkau
membuat murka Allah dengan takabbur kepada makhluk-Nya, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang takabbur.
Wahai anakku,
janganlah dirimu terbuai oleh apa yang telah Allah berikan kepadamu, sehingga
engkau lupa beribadah kepada-Nya, sesungguhnya dirimu adalah sebagian dari
makhluk-makhluk-Nya yang wajib bersyukur dan beribadah kepada-Nya. Engkau
mempunyai kedudukan yang sama dengan umat manusia lain, dan engkau akan
mendapat kedudukan yang lebih tinggi bila engkau bertaqwa. dalam Al-Qur’an ditegaskan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu kamu saling kenal mengenal. Sesunggnhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujaraat: 13)
PELAJARAN XVII
KEUTAMAAN TOBAT, ROJA, KHAUF, SABAR DENGAN BERSYUKUR
Wahai anakku,
hindarkanlah diri dari dosa dan kesalahan, terkecuali para Nabi ‘Alaihimush Shalaatu Wassalaam, mereka semua ma’shum
(terjaga). Jika dirimu terpaksa melakukanya beristighfarlah kepada Allah swt.,
sesugguhnya Rabbmu maha pengampun bagi hamba-hamba-Nya.
Wahai annaku, sesugguhnya
bertobat dari dosa yang kau lakukan tidak cukup dengan kata-kata lisan saja,
tatapi tobat yang sebenarnya ialah: pengakuan samua dosa yang telah engkau lakukan
di hadapan rabbamu dengan kesadaran bahwamu sesungguhnya engkau telah berdosa
dan wajib menerima siksa sebagaimana yang ditentukan Allah swt. Dalam bartobat
hendaklah engkau beristighfar dengan perasaan sedih dan menyesal atas perbutan-perbutan
yang engkau lakukan. Dan berjanji kepada Allah untuk tidak melakukanya lagi
selamanya. Kemudian berserah diri dan berharaplah kepada Allah untuk
mendapatkan ampunan dosa yang telah engkau lakukan. Apabila Allah menghendaki
tentu akan menghendaki tentu akan mengapunimu, tapi mungkin pula Allah akan
menyiksamu.
Wahai anaku,
ini semua adalah cara tobat dan istighfar yang sebenarnya (taubatan nasuha).
Bukan hanya cukup dengan ucapan: “aku bertobat kepada Allah”, tapi dirimu masih
selalu melakukan maksiat. Hal ini merupakan perbuatan dosa lain yang wajib pula
mendapatkan siksa Allah swt.
Wahai anakku, ambillah
pelajaran dari dirimu sendiri, jika orang tua dan gurumu menyuruhmu untuk belajar
dengan tekun tetapi engkau mengabaikannya dan ketika orang tua serta guramu
hendak memberimu hukuman, engkau berkata: “aku bertaubat”, apakah tobatmu dapat
diterima oleh orang tua dan gurumu, sedangkan engkau masih juga malas belajar? Apakah ini bukan merupakan tobat yang pantas untuk mendapatkan
sangsi dua kali lipat?
Wahai anakku, jadikanlah
takut kepada siksa Allah, sebagai dinding pemisah antara dirmu dengan perbuatan dosa. Barangsiapa yang
sangat takut kepada siksa Allah, maka sedikit kali kemungkinan dia melakukan pelanggaan
terhadap ketentuan-ketentuan Allah, karena dia yakin bahwa segala perbuatan tentu
akan dilihat dan dibalas Allah swt.
Wahai anakku, janganlah
engkau berputus asa dari rahmat Allah apabila enkau terlanjur melakukan dosa. Berseralah
dan dekatlah dirimu kepada Allah dikala kau sendri atau berada dikeramaian, mintalah ampun dan maghfirah kepada-Nya,
Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Wahai annaku,
kalau dirimu ditimpa musibah, baik menimpa dirimu, hartamu ataupun sesuatu yang
engkau anggap berharga maka bersabarlah. Mintalah pahala disisi Allah dengan ketabahan
dan kesabaran dalam menghadapinya. Terimalah dengan ridla Qadla’ dan Qadar-Nya.
Bersyukurlah kepada Rabbamu atas kelembutan dan kebaikan yang Alllah telah
curahkan kepadamu, agar musibah yang menimpa dirimu tidak dapat digandakan. Mohonlah
kehalusan Qadla’ dan Qodar-Nya serta ucapanlah: “ya Allah, sesugguhnyya aku
tidak bermohon kepada-Mu akan tertolaknya Qadlo’, tetapi aku mohon kepadamu akan kasih saying-Mu
dalam menghadapi musibah.”
Wahai anakku,
apabila engkau kehilangan sesuatu barang, tentu jalan keluanya engkau akan menggunakan
barang lain yang ada, sekalipun barang tersebut engkau anggap lebih rendah
nlainya dari yang hilang. Tidaklah musibah itu engkau rasakan sangat berat, kecuali
di akherat nanti akan lebih berat dari apa yang kau hadapi sekarang. Karena itu
janganlah engkau mengkufuri musibah yang menimpa dirimu menjadi penghalang untuk
beribadah kepada Rabbmu, sesungguhnya Rabbmu adalah Dzat Yang Maha Bekehendak, tidak
ada satupun mahukpun yang bisa menoak takdir-Nya dan Allah Maha Bijaksana lagi Maha
Waspada.
PELAJARAN XVIII
KEUTAMAAN BERAMALA DAN MENCARI REZEKI YANG DISERTAI
TAWAKAL SERTA ZUHUD
Wahai anakku,
tuntutlah ilmu sebanyak mungkin, agar engkau dapat mengamalkan dan memberi manfaat
untuk dirimu, serta dapat mengajar, menunjukkan dan mengajak umat manusia dalam
mengamalkan ilmu tersebut. Belajarlah engkau agar dapat memperdalam ilmumu
dengan jalan mengambil pelajaran dari hidup dan kehidupanmu serta mendapatkan jalan
keluar dalam menempuh kehidupan duniawi dan ukhrawi. Janganlah engkau
menpelajari suatu ilmu tetapi ilmu itu akan mencelakai dirimu dan jangan sampai
ilmu tersebut menjadi pengikat atau pencegah gerak langkahmu dalam berpijak,
ini karena piciknya pikiranmu dalam mengartikan ilmu yang akhirnya ilmu yang
engkau miliki dapat menjadi jurang pemisah antara kehidupan dan hati nuranimu.
Wahai anakku, orang
yang ’alim patut menjadi uswah (teladan) bagi umat manusia dalam bekerja
(mencari harta), karena dia lebih mengerti cara mencari dan menafkahkan
hartanya kejalan yang halal. Dan juga
memiliki nur ilmu yang akan memberi petunjuk kepada kita dikala jual beli,
utang piutang, bercocok tanam, berdagang dan menginfakkan hartanya.
Wahai anakku, bukan
perbuatan hina apabila seorang pelajar bercocok tanam atau membantu orang
tuanya bercocok tanam. Sesungguhnya perbuatan hina itu ialah: apabila hanya mengejar-ngejar
infak dan sedekah serta menggantungkan diri kepada belas kasihan orang lain
atau hanya selalu menantikan sisa makanan dari orang lain.
Wahai anakku, sesungguhnya
Rasullallah saw. pernah menggembalakan kambing sebelum diutus menjadi nabi,
kemudian beliau berdagang sampai beliau diutus menjadi Nabi dan beliau tidak
pernah meninggalkan usaha untuk hidup serta kehidupannya, yang akhirnya rezki
beliau datang dari hasil ghonimah (rampasan perang) sebagaimana Imam
Ahmad, Bukhari dan lainya meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw.
beliau telah bersabda: “Allah tidak mengutus seseorang Nabi, kecuali dengan
mengembalakan kambing terlebih dahulu.” para sahabat mengajukan
pertanyaan “apakah engkau juga demikian wahai Rasullallah? “Ya, aku mengembala
kambing di ladang sebelah sana, milik penduduk makkah.” Berdagangpun telah di
lakukan dalam kehidupan Rasullallah saw. Adapun hadist-hadist shahih yang
menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi saw. Bekerja sama dengan Khatijah untuk
berdagang sebelum beliau di utus menjadi Nabi. Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari
Ibnu Umar, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Aku di utus dengan mengangkat
pedang (berperang) di zaman akhir, sampai Allah saja yang diabadi, tidak ada yang
menjadi sekutu bagi-Nya. Dan rezkiku datang dari bawah anak tombak”.
Abu Bakar Ash-Shiddiq,
juga seorang saudagar dari saudagar yang besar dan pekerjaan inipun berhenti setelah
menjadi khalifah pertama. Demikian juga para shahabat Nabi yang lain dan para
tabi’in serta para “Salafus Shalih”, selalu bekerja untuk mencukupi
kebutuhannya. Dien yang mereka miliki tidaklah mencegah dirinya dari pergaulan
dengan umat manusia dalam usaha mencari rezeki yang halal, tetapi mereka bahkan
menjadi teladan didalam cara bekerja.
Wahai anakku, sesungguhnya
engkau akan mengetahui banyak ilmu syara’ dalam ajaran islam, baik itu masalah
jual beli, gadai, sewa menyewa, berdagang, bercocok tanam dan sebagainya. Karena
itu beramallah sesuai dengan ilmu yang telah engkau miliki dan ajarkan umat manusia,
sehinga Allah swt. akan melipatgandakan
pahalamu dalam beramal dan menyebar luaskan ilmu.
Wahai anakku, janganlah
engkau berpendapat seperti orang-orang yang bodoh yang mengatakan bahwa tawakal
(berserah diri kepada allah) ialah dengan meninggalkan usaha (bekerja) dan
berserah begitu saja kepada takdir (ketentuan Allah). Sesungguhnya seorang
petani yang bercocok tanam di sawah pada waktu siang dan malam merupakan contoh
petani yang bertawakal kepada Allah, asalkan niatnya baik dan benar. Petani itu
menerbahkan benih di sawah ladangnya, memelihara dengan baik dan setelah itu
berhasil atau tidaknya dalam bertani diserahkan sepenuhnya kepada Rabbnya,
kalau kiranya Allah menghendaki tentu akan tumbuh semi yang baik sehingga sehingga
membawa hasil tujuh ratus kali lipat dari benih aslinya dan apabila Allah
menghendaki tidak tumbuh, maka sama sekali tidak akan membawa hasil. itulah
sebaik-baik tawakal yang tidak sertai kesedihan dan kebencian apabila tidak
berhasil seperti yang kita harapkan.
Wahai anakku, zuhud
(tidak terikat pada dunia) bukan berarti meninggalkan usaha (bekerja),
tetapi zuhud ialah menghindarkan diri dari harta keduniawian di dalam
diri. Apabila engkau bekerja sesuai hajat kebutuhan hidupmu dan memberi
peretlongan kepada orang-orang yang lemah, serta bersedekah kepada orang-orang
fakir dan engkau tidak berkeinginan untuk memupuk harta kekayaan kecuali dengan
jalan yang dibenarkan oleh Allah, digunakan untuk beribadah keada-Nya. “Dan carilah
pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (keni’matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaiamna Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash:
77)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar