Selasa, 20 Mei 2014

Terjemahan Kitab "Washoya Al Aaa' lil Abnaa' " (4)

PELAJARAN   XVI
GHIBAH, NAMIMAH, HIQD, HASAD DAN
TAKABUR

Wahai anaku, sebagian dari akhlak tercela dan hina ialah ghibah (engkau mambicarakan kejelekan temanmu di saat dia tidak ada). Apabila dia mengetahuinya tentu akan merasa tidak senang .
Wahai  anakku, pada setiap orang pasti  mempunyai  kekurangan, karena  itu jauhilah  olehmu  membicarakan  kejelekan  orang  lain. Wahai anakku, jauhilah ghibah, jauhi  perbuatan-perbuatan  yang  sejenis. Perbuatan yang serupa dengan ghibah adalah namimah (mengadu domba), janganlah engkau berbuat kerusakan dikalangan umat manusia janganlah engkau mengatakan kepada seseorang si Anu telah mengumpatmu, si Anu menuduhmu berbuat anu dan lain sebagainya.
 
Wahai  anakku, ghibah dan namimah adalah sebagian dari akhlaq yang rendah dan tercela, bukan akhlaq kaum pelajar, juga bukan akhlaq pelajar yang mempelajari Dienul Islam. Karena itu janganlah engkau mengotori diri dengan akhlaq yang rendah dan hina itu. Dalam Al Quran ditegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan  orang  lain  dan  janganlah  sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu marasa jijik kepadanya. Dan  bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujaraat: 12)
Wahai anakku, janganlah engkau hasad (dengki) kepada temanmu yang mendapat keni’matan dari  Allah, karena dirimu tidak mendapatkan-Nya. Mungkin pada suatu saat Allah akan  memberimu ni’mat seperti apa yang diperoleh temanmu.
Wahai anakku, hasad itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan menimbulkan permusuhan dan dendam. Sesungguhnya apabila engkau dengki kepada salah seorang teman, maka temanmu akan marah dan membencimu, setiap orang yang mengetahuinyapun akan memberi penilaian bahwa dirimu berakhlaq rendah dan tercela.
Wahai anakku, karena itu tinggalkanlah sifat ghibah, naminah dan hasad. Tinggalkan pula sifat hiqd (benci) kepada teman dan kepada sekalian umat manusia janganlah engkau menyimpan  perasaan jelek kepada seseorang. Apabila ada seseorang berbuat salah kepadamu, kemudian memohon maaf, maka maafkanlah dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, buang jauh-jauh perasaan untuk membalas dendam.
Wahai anakku, jadilah engkau seorang yang berhati suci, bersih dari sifat hasad, hiqd dan lainya, karena orang akan merasa bahagia dan cinta kepadamu.
Wahai anakku, hiqd dan hasad itu adalah akhlaq yang buruk, yang tidak akan memberi mudlarat kecelakaan kecuali kepada orang yang memiliki sifat itu. Hasad tidak akan dapat memindahkan keni’matan yang dimiliki seseorang kepada dirimu. Bila dirimu menjadi orang yang pendengki  pembenci, maka hatimu akan selalu panas, sakit hati sepanjang siang dan malam. Dirimu tidak akan tenang selama sifat hasad dan hiqd masih tertanam dalam hatimu.
Wahai anakku, apabila Allah memberi ni’mat karunia kepadamu, bersyukurlah, jangan engkau takabbur (sombong) terhadap sesama makhluk. Sesungguhnya Allah Dzat yang memberimu ni’mat dan Dia kuasa untuk mencabut kembali. Sesungguhnya Allah yang mencegah tidak memberikan ni’mat kepada selainmu itu kuasa untuk memberinya berlipat ganda dari apa yang telah diberikan kepadamu. Karena itu janmganlah engkau membuat murka Allah dengan takabbur kepada makhluk-Nya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang takabbur.
Wahai anakku, janganlah dirimu terbuai oleh apa yang telah Allah berikan kepadamu, sehingga engkau lupa beribadah kepada-Nya, sesungguhnya dirimu adalah sebagian dari makhluk-makhluk-Nya yang wajib bersyukur dan beribadah kepada-Nya. Engkau mempunyai kedudukan yang sama dengan umat manusia lain, dan engkau akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi bila engkau bertaqwa. dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu kamu saling kenal mengenal. Sesunggnhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujaraat: 13)


PELAJARAN XVII
KEUTAMAAN TOBAT, ROJA, KHAUF, SABAR DENGAN BERSYUKUR

Wahai anakku, hindarkanlah diri dari dosa dan kesalahan, terkecuali para Nabi  ‘Alaihimush Shalaatu Wassalaam, mereka semua ma’shum (terjaga). Jika dirimu terpaksa melakukanya beristighfarlah kepada Allah swt., sesugguhnya Rabbmu maha pengampun bagi hamba-hamba-Nya.
Wahai annaku, sesugguhnya bertobat dari dosa yang kau lakukan tidak cukup dengan kata-kata lisan saja, tatapi tobat yang sebenarnya ialah: pengakuan samua dosa yang telah engkau lakukan di hadapan rabbamu dengan kesadaran bahwamu sesungguhnya engkau telah berdosa dan wajib menerima siksa sebagaimana yang ditentukan Allah swt. Dalam bartobat hendaklah engkau beristighfar dengan perasaan sedih dan menyesal atas perbutan-perbutan yang engkau lakukan. Dan berjanji kepada Allah untuk tidak melakukanya lagi selamanya. Kemudian berserah diri dan berharaplah kepada Allah untuk mendapatkan ampunan dosa yang telah engkau lakukan. Apabila Allah menghendaki tentu akan menghendaki tentu akan mengapunimu, tapi mungkin pula Allah akan menyiksamu.
Wahai anaku, ini semua adalah cara tobat dan istighfar yang sebenarnya (taubatan nasuha). Bukan hanya cukup dengan ucapan: “aku bertobat kepada Allah”, tapi dirimu masih selalu melakukan maksiat. Hal ini merupakan perbuatan dosa lain yang wajib pula mendapatkan siksa Allah swt.
Wahai anakku, ambillah pelajaran dari dirimu sendiri, jika orang tua dan gurumu menyuruhmu untuk belajar dengan tekun tetapi engkau mengabaikannya dan ketika orang tua serta guramu hendak memberimu hukuman, engkau berkata: “aku bertaubat”, apakah tobatmu dapat diterima oleh orang tua dan gurumu, sedangkan engkau masih juga malas belajar?  Apakah ini bukan  merupakan tobat yang pantas untuk mendapatkan sangsi dua kali lipat?
Wahai anakku, jadikanlah takut kepada siksa Allah, sebagai dinding pemisah antara dirmu  dengan perbuatan dosa. Barangsiapa yang sangat takut kepada siksa Allah, maka sedikit kali kemungkinan dia melakukan pelanggaan terhadap ketentuan-ketentuan Allah, karena dia yakin bahwa segala perbuatan tentu akan dilihat dan dibalas Allah swt.
Wahai anakku, janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah apabila enkau terlanjur melakukan dosa. Berseralah dan dekatlah dirimu kepada Allah dikala kau sendri atau berada dikeramaian,  mintalah ampun dan maghfirah kepada-Nya, Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Wahai annaku, kalau dirimu ditimpa musibah, baik menimpa dirimu, hartamu ataupun sesuatu yang engkau anggap berharga maka bersabarlah. Mintalah pahala disisi Allah dengan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapinya. Terimalah dengan ridla Qadla’ dan Qadar-Nya. Bersyukurlah kepada Rabbamu atas kelembutan dan kebaikan yang Alllah telah curahkan kepadamu, agar musibah yang menimpa dirimu tidak dapat digandakan. Mohonlah kehalusan Qadla’ dan Qodar-Nya serta ucapanlah: “ya Allah, sesugguhnyya aku tidak bermohon kepada-Mu akan tertolaknya Qadlo’,  tetapi aku mohon kepadamu akan kasih saying-Mu dalam menghadapi musibah.”
Wahai anakku, apabila engkau kehilangan sesuatu barang, tentu jalan keluanya engkau akan menggunakan barang lain yang ada, sekalipun barang tersebut engkau anggap lebih rendah nlainya dari yang hilang. Tidaklah musibah itu engkau rasakan sangat berat, kecuali di akherat nanti akan lebih berat dari apa yang kau hadapi sekarang. Karena itu janganlah engkau mengkufuri musibah yang menimpa dirimu menjadi penghalang untuk beribadah kepada Rabbmu, sesungguhnya Rabbmu adalah Dzat Yang Maha Bekehendak, tidak ada satupun mahukpun yang bisa menoak takdir-Nya dan Allah Maha Bijaksana lagi Maha Waspada.


PELAJARAN  XVIII
KEUTAMAAN  BERAMALA DAN MENCARI REZEKI YANG DISERTAI TAWAKAL SERTA ZUHUD

Wahai anakku, tuntutlah ilmu sebanyak mungkin, agar engkau dapat mengamalkan dan memberi manfaat untuk dirimu, serta dapat mengajar, menunjukkan dan mengajak umat manusia dalam mengamalkan ilmu tersebut. Belajarlah engkau agar dapat memperdalam ilmumu dengan jalan mengambil pelajaran dari hidup dan kehidupanmu serta mendapatkan jalan keluar dalam menempuh kehidupan duniawi dan ukhrawi. Janganlah engkau menpelajari suatu ilmu tetapi ilmu itu akan mencelakai dirimu dan jangan sampai ilmu tersebut menjadi pengikat atau pencegah gerak langkahmu dalam berpijak, ini karena piciknya pikiranmu dalam mengartikan ilmu yang akhirnya ilmu yang engkau miliki dapat menjadi jurang pemisah antara kehidupan dan hati nuranimu.
Wahai anakku, orang yang ’alim patut menjadi uswah (teladan) bagi umat manusia dalam bekerja (mencari harta), karena dia lebih mengerti cara mencari dan menafkahkan hartanya kejalan yang halal. Dan  juga memiliki nur ilmu yang akan memberi petunjuk kepada kita dikala jual beli, utang piutang, bercocok tanam, berdagang dan menginfakkan hartanya.
Wahai anakku, bukan perbuatan hina apabila seorang pelajar bercocok tanam atau membantu orang tuanya bercocok tanam. Sesungguhnya perbuatan hina itu ialah: apabila hanya mengejar-ngejar infak dan sedekah serta menggantungkan diri kepada belas kasihan orang lain atau hanya selalu menantikan sisa makanan dari orang lain.
Wahai anakku, sesungguhnya Rasullallah saw. pernah menggembalakan kambing sebelum diutus menjadi nabi, kemudian beliau berdagang sampai beliau diutus menjadi Nabi dan beliau tidak pernah meninggalkan usaha untuk hidup serta kehidupannya, yang akhirnya rezki beliau datang dari hasil ghonimah (rampasan perang) sebagaimana Imam Ahmad, Bukhari dan lainya meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw. beliau telah bersabda: “Allah tidak mengutus seseorang Nabi, kecuali dengan mengembalakan kambing terlebih dahulu.” para sahabat mengajukan pertanyaan “apakah engkau juga demikian wahai Rasullallah? “Ya, aku mengembala kambing di ladang sebelah sana, milik penduduk makkah.” Berdagangpun telah di lakukan dalam kehidupan Rasullallah saw. Adapun hadist-hadist shahih yang menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi saw. Bekerja sama dengan Khatijah untuk berdagang sebelum beliau di utus menjadi Nabi. Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Aku di utus dengan mengangkat pedang (berperang) di zaman akhir, sampai Allah saja yang diabadi, tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya. Dan rezkiku datang dari bawah anak tombak”.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, juga seorang saudagar dari saudagar yang besar dan pekerjaan inipun berhenti setelah menjadi khalifah pertama. Demikian juga para shahabat Nabi yang lain dan para tabi’in serta para “Salafus Shalih”, selalu bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Dien yang mereka miliki tidaklah mencegah dirinya dari pergaulan dengan umat manusia dalam usaha mencari rezeki yang halal, tetapi mereka bahkan menjadi teladan didalam cara bekerja.
Wahai anakku, sesungguhnya engkau akan mengetahui banyak ilmu syara’ dalam ajaran islam, baik itu masalah jual beli, gadai, sewa menyewa, berdagang, bercocok tanam dan sebagainya. Karena itu beramallah sesuai dengan ilmu yang telah engkau miliki dan ajarkan umat manusia, sehinga  Allah swt. akan melipatgandakan pahalamu dalam beramal dan menyebar luaskan ilmu.
Wahai anakku, janganlah engkau berpendapat seperti orang-orang yang bodoh yang mengatakan bahwa tawakal (berserah diri kepada allah) ialah dengan meninggalkan usaha (bekerja) dan berserah begitu saja kepada takdir (ketentuan Allah). Sesungguhnya seorang petani yang bercocok tanam di sawah pada waktu siang dan malam merupakan contoh petani yang bertawakal kepada Allah, asalkan niatnya baik dan benar. Petani itu menerbahkan benih di sawah ladangnya, memelihara dengan baik dan setelah itu berhasil atau tidaknya dalam bertani diserahkan sepenuhnya kepada Rabbnya, kalau kiranya Allah menghendaki tentu akan tumbuh semi yang baik sehingga sehingga membawa hasil tujuh ratus kali lipat dari benih aslinya dan apabila Allah menghendaki tidak tumbuh, maka sama sekali tidak akan membawa hasil. itulah sebaik-baik tawakal yang tidak sertai kesedihan dan kebencian apabila tidak berhasil seperti yang kita harapkan.
Wahai anakku, zuhud (tidak terikat pada dunia) bukan berarti meninggalkan usaha (bekerja), tetapi zuhud ialah menghindarkan diri dari harta keduniawian di dalam diri. Apabila engkau bekerja sesuai hajat kebutuhan hidupmu dan memberi peretlongan kepada orang-orang yang lemah, serta bersedekah kepada orang-orang fakir dan engkau tidak berkeinginan untuk memupuk harta kekayaan kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah, digunakan untuk beribadah keada-Nya. “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaiamna Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Munajat Sang Ayah

Dalam sebuah buku berjudul “Birrul Walidain” ; Karya Prof. Muhammad Quraish Shihab,  Saya temui uraian menarik tentang cinta dan harapan seo...